Peuteuy

Fikmin

Boga gawé nguriling ka unggal lembur mah loba bébéréan ti warga kampung. Rupa-rupa hasil tatanen pindah ka leuitna. Béas, cau, hui, peuteuy jeung jengkol mun keur usum sok ngabengkot dina motor dibawa balik. Sanajan indekos di hiji kampung, Karman loba nu mikanyaah. Komo basa Nyi Kulsum pamajikan milu indekos, nu barangbéré beuki murudul.
“Nyi, peuteuy téh bagikeun ka tatangga,”
“Muhun,”
“Tuh, aya Ceu Kokom di luar, ké rang béré,” manéhna ngojéngkang ka luar satutas narima WA bari mawa peuteuy sahanggor. Nyi Kulsum teu jadi cengkat da di caram ku salakina, atuh terus wén ngahuapan budakna.
Pasosoré, Ceu Kokom nitah ka imahna, ngajak ngaliwét cenah da salakina gé aya mulang ti kota.
“Pak Karman, mana peuteuy téh, cenah seueur nu ngintun?”
Nyi Kulsum kerung, Karman bareureum beunget teu lemek teu carék.***

Baju Korpri

Fikmin

Ngaput baju korpri teh asa geus tilu kali. Nu mimiti mangsa keur ngahonor kénéh, terus basa anyar diangkat pagawé negri, tah ayeuna kudu ngaput deui da geus sèrèg. Baju kebangsaan nu dipakéna dina waktu-waktu pinilih. Reueus makéna, asa jadi pajabat.
Beuki lila baju téh beuki ngaleutikan, duka awakna kitu nu ngabadagan? Sabar, sagala bareuh. Tapi teu kitu, da cenah mun geus kawin angger dina timbangan opat puluh mah kaasupna téh kurang gizi. Nyi Minah ngupahan manéh. Kaén pibajueun ngalumbruk na luhur kasur.
“Ceu Minah, hayu rang pangaosan,” aya nu ngagorowok ti luar.
“Sakedap,” ceuk Minah bari noong tina kaca jandela nu maké hordéng bodas ipis.
Euleuh, Nyi Minah ngarénjag, “Teu salah tetempoan kitu?” Gerentesna.
“Sok ti payun,” nu nyampeur ngaléos, tatangga Nyi Minah tukang ngaput manéhna téh. Miang tiheula ka pangaosan maké gamis korpri.**

Akreditasi

Tahu kan kalau mau akreditasi? capenya luar biasa. Mempersiapkan segala sesuatunya demi mendapatkan nilai bagus. Mulai dari mengecat ruangan dan gedung, pagar, mengganti hordeng bahkan mempersiapkan administrasi. Sepertinya mengada-ada padahal jika dilakukan secara periodik tidak akan keteteran.
Bu Guru mengintruksikan anak didiknya memakai baju yang bersih dan rapi pada saatnya nanti, anak-anak juga disuruh mengumpulkan foto diri untuk ditempel di kelas sebagai identitas.
“Bun, Rey harus ngumpulin foto,”
“Oke, say,” Winona siap membuka galeri dan mengirimnya ke tukang foto copy agar diprint.
Foto anak-anak pun siap terpajang di kelas masing-masing.
Pulang sekolah Rey menangis.
“Hai, anak Bunda kenapa?”
“Bun, fotonya diganti ya,” Rey merajuk
“Kenapa?”
“Fotonya lagi merem, Rey malu!”
Waduh, Winona cek lagi foto terkirim ke tukang foto copy. Benar saja, dipeluknya Rey sambil berbisik.
“Maafkan, Bunda ya.”***

#TantanganMenulisAgustus
#SahabatKabolMenulis
Minggu ke-3
Day 15

Sumber gambar: instagram.com/egglustration

Kandas

Minggu akhir bulan Desember, ada undangan seminar perbankan Di Amerika Selatan. Winona sudah pamitan ke suaminya bahkan mengajaknya turut serta tapi Pram tidak bisa karena ada kegiatan kantor yang tak bisa ditinggalkan, katanya.
Ternyata Raditya, teman SMA-nya dulu sedang kuliah di Kolumbia, menyelesaikan disertasinya tentang penyebaran psikotropika di nagara tersebut.
“Winona, aku sangat bahagia bisa ketemu di sini,”
“Makasih ya, sudah jadi guide buatku,”
“Sebagai imbalannya, mau ga kita jalan,”
“Sekedar jalan, ya,” Winona mengerlingkan matanya.
“Pasti, ha ha,”
Menyusuri jalanan rindang hutan Amazone beserta para turis yang lain, Radit yang sudah hampir dua tahun bolak-balik Amerika merampungkan studinya jadi sudah pasti banyak tahu tentang kondisi alam di sana. Dalam kebahagian Winona mengisi sisa luang di negara itu, ada gurat kesedihan dari laki-laki yang tertunduk di pront office hotel, seharian mengikuti perjalanan istrinya melewati Das Amazon dari jarak puluhan meter, niatnya memberi surprise kandas, segera dia bertolak ke bandara untuk kembali.***

#TantanganMenulisAgustus
#SahabatKabolMenulis
Minggu ke-3
Day 14

Sumber gambar: instagram.com/igglobalclub

Pernikahan

Pernikahannya dengan Pram bukan suatu kebetulan. Winona, siswa SMA yang sangat cerdas bahkan siswa yang aktif di berbagai kegiatan tapi termasuk siswa menengah ke bawah dan mendapat bantuan beasiswa harus mengikuti keinginan kedua orangtuanya yang sudah tak sanggup lagi membiayainya.
“Maukah kamu menikah dengan Pram?”
“Tidak Pak, Win masih mau kuliah.”
“Kamu masih bisa kuliah, orangtua Pram siap membiayai.”
Ah…andai Winona tak mengiyakan keinginan bapaknya waktu itu, mungkin hidupnya tak seindah sekarang.
“Win, kamu terpaksa ya, menikah dengannya,” tiba-tiba ada chat di handphone-nya.
“Kamu tuh lucu ya?”emoticon marah.
“Lucu kenapa?”
“Kamu meninggalkan aku, menikah dengan perempuan lain demi ambisimu lalu seenaknya saja menjudge aku begitu!”
“Maaf, Win,”
Winona bosan dengan kata maaf, apa tak ada kata lain yang lebih baik dari kata itu? Perih mendapat kabar kalau Radit, orang yang saat itu dekat dengannya sudah menghianati cintanya. Dia bertunangan dengan orang lain, bukan dirinya. Ketika Winona mencoba meminta penjelasan tentang hubungannya, Radit malah menghilang tanpa jejak, tahu-tahu dia sudah dikabarkan menikah.
Harapan untuk bersanding dengan Radit hanya sebatas cerpen mading SMA-nya.
Siang itu, ketika hatinya hancur berantakan karena harapannya terhempas ke pasir pantai, Winona dilamar Pram, laki-laki pilihan orangtuanya yang saat ini masih setia mendampinginya.***

#TantanganMenulisAgustus
#SahabatKabolMenulis
Minggu ke-3
Hari ke 12

Sumber gambar: instagram.com/ilustrasi

Awal Ramadhan

Winona tertegun, ucapan Pram begitu mengiris bagai sembilu. Membela diri bukan alasan yang pantas untuk dilontarkan.
“Pram, aku mohon maaf,”Pram melengos.
“Salah aku apa, Pram?”
Winona tertunduk lesu, diraihnya guling lalu dipeluknya erat, ada bulir bening mengalir di pipinya.
Sudah dua minggu sejak awal Ramadhan tahun ini, Winona merasakan hal aneh dengan Pram, suaminya itu tak pernah menyentuhnya. Bukan karena menjaga kesucian Ramadhan, Winona yakin bahwa tingkah Pram karena kesalahannya, tapi apa?
Laki-laki itu pindah tidur ke bawah bersama dengan bantal gulingnya, Winona mencoba mendekati dan turut serta tidur di lantai, Pram malah pindah ke atas tempat tidur. Dia menolak untuk didekati apalagi dipeluk istrinya.
Winona sedih, di luar terdengar suara angin bergemuruh, beberapa kali kilat bersahutan dengan halilintar yang menggelegar. Biasanya dia akan bersembunyi di balik tubuh gagah Pram tapi kali ini dia hanya bisa menangis di bawah selimut tebal.
“Harusnya kamu sadar, munggahan itu dengan suami…”
Hanya karena sehari sebelum Ramadhan Winona nginap di rumah orang tuanya membuat Pram berubah menjadi gunung es.
Amarah yang terpendam memecah kesunyian malam, genderang perang sudah mulai reda. Kini semburat fajar menyambut senyum bahagia dua insan yang sempat terpisah fatamorgana.**

#TantanganMenulisAgustus
#SahabatKabolMenulis
Minggu ke-3
Day 11

Sumber gambar: instagram.com/gallerylifestyle

Yang Terlupakan

Pagi menggiring fajar menuju kemewahan semesta, burung-burung mulai menampakan dirinya bertengger di atas dahan pucuk-pucuk yang rindang. Winona merasakan segarnya mandi di sungai Citanduy yang mengalir menuju Sagara Anakan. Beningnya air dan dinginnya suhu tak menyurutkan niatnya membasuh seluruh badannya. Seperti dalam kisah tujuh putri dari kayangan, dia memakai baju bak bidadari dan tak mungkin berharap ada yang menyembunyikan bajunya agar bisa kembali ke negri para dewa.
“Andai aku jadi bidadari,” jemari lentiknya memainkan air hingga basah seluruh tubuhnya. “Aneh, tak ada orang di sini? Apa daerah ini memang terlarang untuk digunakan?” Pikirnya sambil melihat sekeliling. Winona mengakhiri mandinya, berkemas pulang. Baju yang melekat di badannya basah karena tak ada handuk untuk mengelap air di tubuhnya.
“Hai, baru mandi ya?”
“Radit? Siapa perempuan itu?” Dalam hati Winona penuh tanda tanya.
Radit dan perempuan itu tersenyum sinis, mereka seperti menertawakan kesendiriannya di tepian hutan lebat. Melihat semburat kebahagiaan mereka, hatinya rapuh. Winona membalikkan badan, berlari sekencang-kencangnya menghindari kedua orang itu.
“Win…ada apa?” Tiba-tiba pundaknya ada yang menepuk. Winona masih terengah-engah kecapean karena mimpinya. Pram, menatapnya lekat.**
#TantanganMenulisAgustus
#SahabatKabolMenulis
Minggu ke-3
Day 13

Sumber gambar: instagram.com/mimpinglukis

Ulang Taun

Fikmin

Ayeuna téh tanggal 28 Agustus, Si Bungsu gubrag ka alam dunya, poé ieu dur-duran adan subuh aya nu ngocéak gogoaran nalika dirina lewang mancén hirup di alam pawayangan.
Biasana unggal aya nu ulang taun teh sok dipangmeulikeun kuéh, kadang ngabagikeun snék ka tatangga atawa di pangajian.
Di imah sok aya ritual méré surprise bari lampu dipoékan.

“Ulah mareuman lampu, bisi apaleun,” ceuk Si Cikal. Sapuk rék api-api sararé mun Si Bungsu balik ti pangajian.
Rekétttt.., kabéh lumpat muru anggel jeung salimut pasti si bungsu nu asup ka imah.
Panon peureum salimut dibulenkeun, didagoan meunang lima menit, can aya kénéh. Sidik panto ngarekét jeung méléngé. Tigin kana jangji teu meunang aya nu hudang mun si bungsu can kapireng ngomong.
Isuk-isuk eur-eur kaleungitan pais lauk na luhur meja, Si Bungsu ngurumuy balik ngendong ti imah nini.**

Masa Lalu

Pagi ini dinginnya luar biasa, embun masih setia menemani matahari, jalanan redup membuat suasana semakin pengap. Inginnya berdiam diri saja di dalam kamar melanjutkan mimpi semalam.
“Win, kamu cantik sekali,”
“Ada-ada saja, mana ada wanita menjelang tua begini di bilang cantik,” dalam hatinya Winona berdebar-debar bahagia.
“Serius, aku bilang apa adanya kok,” makin melambung Winona dengan pujian tulus dari hati yang paling dalam.
Tangan lembut menjabatnya, ada getar-getar bahagia seperti waktu kuliah dulu. Dia Ketua Senat yang menjadi rebutan di kampusnya, aktivis tampan, jago basket dan juara literasi pula. Winona cuma gadis kampung yang tak pernah neko-neko. Kalau sekarang, Winona merasa percaya diri dengan statusnya, siapa yang gak kenal namanya? Wanita karier yang sukses menjadi direktur sebuah bank pemerintah di kotanya. Pertemuan dengan Januar, sang mantan Ketua Senat yang sekarang memiliki jabatan penting di pemerintahan karena MOU pendirian cabang bank baru.
“Win…berangkat ke kantor ga?”
Winona menggeliat, menggisik matanya.
“Nggak Jan, aku ambil cuti,” ada sorot aneh dari mata yang memandangnya. Api yang membara seperti tersiram bensin, membakar wajahnya hingga merah padam. Winona baru tersadar siapa yang mengajaknya bicara dan tak sempat minta maaf atau berbicara sepatah kata pun, bibirnya kelu dan orang yang dihadapannya sudah menghilang dengan sakit yang menyayat, perih. Ada sesal mengganjal di lubuk hatinya, Winona terdiam di ujung tempat tidur, percuma saja dia mendekati singa yang sedang mengaum. Winona membiarkan dirinya dalam kehangatan selimut saja dan berharap mimpinya tak kembali agar kehidupannya tak lagi terusik.***

#TantanganMenulisAgustus
#SahabatKabolMenulis
Minggu ke-2
Day 4

Sumber gambar: instagram.com/addy_negara22

Asa Yang Terhempas

Sudah dua hari Winona diam di rumah, cuti. Bosan dan kesal padahal masih tersisa sehari lagi. Insting kerjanya masih menggebu, pekerjaan kantor sudah dimonitoring dari laptopnya, beres.
Diambilnya sapu dan alat ngepel, beres-beres rumah, kebetulan asisten rumahtangganya pulang kampung. Halaman rumah yang kelihatan kotor dengan rumput liar di sana-sini jadi sasaran berikutnya.
Bunga mawar yang tak terawat seperti menangis menghiba ukuran tangannya. Dalam tiga jam saja rumah dan halamannya sudah kinclong.
Masih menyisakan tenaga untuk geser-geser lemari dan tempat tidur, berubah posisi untuk surprise ke suaminya nanti.

“Kamu sadar ga, kalau lagi hamil?”dokter menatap tajam.
Tak ada jawaban, hanya air mata yang mengalir deras menelusuri pipi mulusnya. Belum terbayang jawaban apa yang akan dipersiapkan untuk suaminya.
“Harus menunggu tiga bulan lagi untuk mengawali semuanya, bla bla bla,”pesan dokter direkamnya dan diputar berulang-ulang.***

#TantanganMenulisAgustus
#SahabatKabolMenulis
Minggu ke-2
Day 5

Sumber gambar: instagram.com/deusart_099