SANDAL

Fiksi mini

Oleh: Ai Titin

Sandal itu selamanya di pakai di kaki, kadang di dalam rumah atau di luar rumah. Tapi pemakaian sandal biasanya disesuaikan dengankebutuhan, jika di dalam rumah sandalnya harus empuk dan berbulu biar hangat.

Lain halnya dengan bungsuku, bagi dia memakai sendal itu ibarat beban. Usiannya yang masih terbilang anak kecil, senangnya berjalan dan berlari tanpa sandal. Kakinya hingga “jebrag” saking jarangnya pakai alas kaki. Ke sekolah taman kanak-kanak pun jarang pake sepatu, dia lebih suka pakai “talincang” dengan alasan gerah jika pakai sepatu.

Kalo diingatkan untuk pakai sandal, dia lebih suka lari terbirit-birit agar kita mengejarnya. Duh…tuh anak, sendal yang beratnya gak seberapa jadi beban berat bagi dia.

Pernah suatu hari kita sekeluarga pergi ke Mall. Setelah berjalan beberapa meter saya heran karena dia tak memakai sandal.

“Sandalnya dimana, Dik?”

Dia menunjui ke arah gerbang Mall dan benar saja, sandal itu dia simpan tepat di pintu masuk sehingga satpam harus memindahkannya ke pinggir.

Kali itu sandal masih bisa diselamatkan, kini dia kuajak melayat salah satu kerabat yang meninggal. Waktu shalat magrib, kuajak dia ke mesjid, kupakaikan sandal agar tak kotor masuk di teras masjid.

Haru dengan peristiwa meninggalnya kerabat, aku tak begitu memperhatikan sandal anakku, kubiarkan dia berlarian tanpa sandal begitu sampai di lokasi.

Pulangnya, bungsuku digendong ayahnya, aku melongok ke mobil untuk mengambil sandalnya. Tapi sandal itu tak ada.

“Masya Alloh, Dik… Itu sendal mahal, belinya aja di luar negri, kok bisa ketinggalan sih?” Kakaknya yang sewot

“Beli lagi aja sandal jepit bu…” dengan entengnya dia menjawab.

Aku cuma narik nafas.

#

Singaparna, 14/09/2018

#bebaris

#kamisfikmin

#fiksiminiaititin

Beda Pandangan

Karya: Ai Titin

Kutatap semuanya dengan takjub
Betapa berbeda dengan pandanganku di Nusantara
Hamparan bukit pasir dan gedung kotak
Sebagai bukti kekuasaan sang Pencipta

Manusia laksana ribuan semut
Memuji keagungan dan kesucian
Melantunkan doa-doa dan harapan
Mencari keridhoan

Sujudku kadang dalam lelap
Menikmati hembusan pasir
Dan panas menyengat

Maafkan aku Ya Rabb
Jika mata ini
Kadang terjebak dalam pandangan yang salah
Melihat keburukan tanpa perasaan

Hati adalah Rahasia
Dan prilaku adalah cerminya
Hanya Kau yang tahu apa makna dibaliknya

Maafkan aku jika menilai keliru
Pada mereka
Karena perbedaan adalah sunatulloh

*Madinah,27/07/2018

#bebarispuisi
#muhasabah

Ku Relakan

Oleh: ai titin

Rombongan biri-biri berdesakan
Meronta dan bersuara
Menuju satu arah
Tempat persembelihan

Langkah kaki tegap
Dengan pisau tajam
terselip dipinggang
Menggiring dengan gagahnya

Lelaki hitam itu
Mengucap basmallah dan takbir

Suara mengembik
Satu persatu hilang
Hingga senyap

Darah segar mengalir deras
Biri-biri bergelimpangan
Takbir bersahutan
Ikhlas di hadirkan

Bismillahi Allohuakbar
#DAMnusyuk
#doaterbaik.

Takdir

Di suatu senja
Ketika semua khusu
Dengan doa
Mereka pulang ke Hadapan-Nya

Nun jauh di sana
Teman seperjuangan
Meninggalkan jejak
Memenuhi panggilan Ilahi

Di sini,
Saudara kami terbaring kaku
Diiringi tangisan pilu

Dan kami
Menatap jenazah yang jauh dari sanak family

Kuhantarkan do’a
Semoga mereka ditempatkan
Di Surga-Nya
Semua amalnya diterima
Maafkan kami
Atas khilaf dan dosa.
****

Mekkah, 13 Agustus 2018
#Selasa Puisi
#puisiaititin
#bebaris

Ku lempar Kau

Puisi
Oleh:Ai Titin

Tak ada udara menusuk
Hanya bunyi pendingin bergemuruh
Samar mata terdiam dalam tidur
Padahal tubuh masih bersimbah peluh

Suara karom memekik telinga
Langkah kaki bergerak menuju antrian
Membersihkan diri
Menuju tempat suci

Arak-arakan diiringi shalawat
Memulai perjalanan
Hati bergetar
Jantung berdebar
Jutaan umat memusat ke satu arah

Bismillahitawakaltualalloh
Fokus dengan niat
Tulus mengusap keringat
Beriringan penuh ikhlas

Bismillahi Allohu Akbar!!!
Satu lemparan
Bismillahi Allohu akbar!!!
Hingga lemparan ke tujuh
Semoga Alloh mengampuni semua dosa
Melaknat syaitan pengoda
Dan memasukkan aku, keluarga,
Saudara seimanku
Dalam Surga-Nya.
***
Mina, Agustus 2018
#selasapuisi
#bebaris
#puisiaititin

Sambel Pedes

Oleh: Ai Titin

“maaf bu, boleh duduk disini?”
Wanita itu cuma mengangguk dan tersenyum
Dilihat dari tasnya, dia bukan orang Indonesia atau malaysia
“Filiphine?”
“Kambodia”
Hmmm.
Kulirik lagi wajahnya. Dia mengangguk lagi
*
“Can i stay here?… Indonesia…good”
Dua orang yang duduk di depanku saling pandang.
“Iam Indonesia.. She is camboja” timpalku
Dia mengira saya dengan tiga orang kamboja itu sama-sama dari Indonesia, wajah kami memang mirip, tetapi ketika berbicara, roaming juga xixixi
“Indonesia like hot food…”
Tangannya memeragakan orang yang lagi kepedesan
Hahahaha kami semua tertawa
“Sambal pedas haaa, its Indonesia” nenek di depanku yang dari tadi berbahasa kamboja pun menggunakan bahasa Melayu.
“You can speak Melayu?” tanyaku
Dia mengangguk malu-malu.
“Good, i am Pakistan, Indonesia good”
Ibu yang baru datang tadi memeragakan tangan dengan mengepal semua jari ke arah mulut seperti memeragakan mau menyuap. Itu artinya “sabar”
*
Bukan masalah bahasa dan perbincangan kami yang berkesan tapi mereka tahu banyak tentang Indonesia dan miliki kesan baik. Semoga kesan ini tetap jadi identitas ketika berada di negri orang…
***
#jadikangen
#kangensambelpedes
#kangentanahair

Transfortasi (2)

Dan kami pun berjalan beriringan mengikuti rombongan orang-orang menuju Harom diselingi gelak tawa. Semua bercanda sehingga rasa pegal kaki lenyap sudah.
“Tadi si A dah mau nangis”
“Kalo ada apa-apa aku mau teriak aja”
“Teriaknya gimana?”
“Mbeeeekkkk…. Mbekkkkk”
Hahaahaaaa. Begitu sampai di Harom tujuan utama yaitu toilet, kebelet semua karena ketawa plus stres takut dibawa kabur xixixixi.

Pulang shalat, sambil buka bekal kami merebahkan diri di sekitar masjid. Ada anak kecil berambut ikal lagi mendorong-dorong kursi roda. Kuberikan sepotong kue, dia lari menuju ke kumpulan keluarganya. Tiba-tiba anak itu menangis, rupanya rebutan kue sama dua kakaknya. Kamipun memberikan lagi beberapa kue dan apel, bekal yang kebetulan tidak dimakan.

“dahhhh assalamualaikum…” kami pamitan sama keluarga anak kecil tadi. Mereka sepertinya orang yang dekat-dekat sini dan tidak menetap di hotel (fisabilillah) yang memilih tidur di sekitar masjid, di pinggir jalan raya atau di taman-taman kota.

Sengaja tak memesan taxi atau kendaraan lainnya dan berharap mampu pulang ke hotel dengan berjalan kaki.

Di tengah perjalanan, ada yang menawarkan taxi, kami menyetujui karena ada beberapa diantara kami yang sudah gak sanggup berjalan dan waktu sudah menunjukan pukul 3 dini hari.

Sopir mengantar kami ke hotel setelah kami menunjukan alamat dan identitas hotel. Tapi inget, etika berkendaraan di sini ttp di pake ya? Naik mobil hrs laki-laki dulu dan turunnya harus perempuan dulu.

Begitu sampai di sebrang hotel, mobil berhenti dan tak mau di suruh muter tepat di depan hotel. Akhirnya kami pun turun dan nyebrang dua jalur. Ehhh begitu kami beres nyebrang dan berdiri tepat di gerbang hotel, si sopir mutar dam berlalu di depan hidung kami. Haaa haaa mungkin itu bagian dari etika supir juga ya, kalo bawa penumpang asing, jangan diturunin tepat di hotelnya. Takut ga bayar kali yaaa
Hadeueueuhhhh. Pegal kaki sisa perjalanan msh terasa tp kami puas..
*** Tamat,
23/8/18

Transfortasi (1)

Oleh: Ai Titin

Di Whattshap grup sudah ada pengumuman kalo mulai tanggal 16-25 agustus mobil shalawat yang biasa beroperasi akan off.
Tapi keinginan kami untuk pergi ke Harom tak bisa di bendung, akhirnya salah satu dari kami survei ke jalan raya untuk menetahui apakah ada mobil yang bisa ditumpangi? Ternyata mobil yang ada menawarkan harga pantastis, 100 SR!!!
Masya Alloh kalo di Indonesia bisa beli motor second hehehe.

Gak jadi naik mobil aja, kita bersepuluh jalan kaki menyusuri taman. Ketika ada sekelompok orang maka kita mencoba untuk bertanya, ahhh susah ketemu orang yang bisa bahasa Inggris dimlm2.
“Cari anak muda, jangan nanya orang tua” usulku. Dan benar, anak muda bs diajak komunikasi tapi mereka menyarankan naik taksi aja. Ups mahal kan?

Tiba-tiba ada mobil setengah bak menghampiri. Kami bernego dengan menggunakan kalkulator HP. Si sopir setuju. Jadilah satu orang di depan, 4 perempuan di belakang sopir dan 5 lagi di bak belakang.

Ketika tiba di lampu merah, ku buka kaca jendela
“Udah difoto belum?” aku melongok ke bak belakang
“udah dong”
“sambil bunyi: mbekkkk, mbeeeeekk yaaa”
Kami seisi mobil riuh tertawa.
Tiba-tiba penumpang sedan yang ada di samping mobil tertawa juga.
“where are you going?”
“Harom”
“Malayzia”
“No..no..Indonesia”
Mereka mengacungkan jempol. Mereka pikir kami orang Malaysia. Mungkin karena merekalah yang menggunakan bahasa Inggris dalam kesehariannya. Kita juga bisa om, walau balelol heeee

Aku mulai merasa jengah dan berpikiran buruk ketika sopir membawa kami ke perkampungan penduduk dan bolak-balik hingga tiga kali putaran. Aku mengeluarkan jurus jitu. Nanya si Mbah google. Kuberikan peta perjalanan kami. Dia mengangguk2.

Rupanya dia seorang turki Yang baru perta kali bawa penumpang ke Harom (biasanya bawa domba ya Mas hehehe) jadi dia nyari jalan motong tp ga nemu-nemu.

Masuk jalan utama lagi dan berhenti agak jauh dari terminal adalah alternatif.

#bersambung.

Tasbe Harum

Oleh: Ai Titin

Selepas Magrib dan menunggu shalat Isya, Kami duduk-duduk dipelataran masjid. Melanjutkan tadarus atau berdzikir adalah aktivitas hingga mata meredup dan terperanjat sendiri atau dibangunkan rekan samping kiri kanan.
Tiba-tiba ada perempuan turki bercadar menunjukan beberapa barang, ternyata dia berjualan. Ada tasbe, assesoris dll yang ditawarkan dg harga ckp murah di bwh standar toko2 yang berjejer di sekitar Masjid Nabawi.

Beberapa diantara kami membelinya dan perempuan turki itu mengucapkan terima kasih. Sesampainya di kamar si B merasa ingin membeli tasbe harum karena teman-teman juga membelinya. Besok mlm kita shalat di sana lagi ya, bujukku. Biar ketemu sm si penjual itu.

Begitu selesai shalat, kita menghampiri kel org turki bercadar dmn wanita yg kemarin mlm juga menuju ke arah sana. Dg bhs isyarat kami menanyakan tasbe tp perempuan itu sibuk membagikan makanan pd siapapun yg menghampirinya bahkan kita jg ditawari tapi kita menolak karena kita butuh tasbe. Menunggu hingga beberapa saat, akhirnya wanita itu berbicara dalam bhs Arab.
“Kami membagikan makanan bagi fisabilillah” kurang lbh begitu maknanya.
Duh..susah juga ya mengenali orang apalagi di sini! Dan tasbe pun tinggal angan-angan dia saja.
“pake jari aja…sunah kok”
Hehe…kami pun berlalu dan tak pernah mencari si penjual tasbe itu lagi.
***
Madinah, Juli 2018